Sendiri Mengapai Asa
“Sat, nomer 17 dong.”
“Ck, nirun melulu, belajar!”
“Kalau ada yang efektif kenapa harus belajar. Betul tidak?”
“Tidak!” Sarah tertawa kecil melihat raut wajah Satya yang kesal. Menggoda Satya adalah salah satu hobinya. Tapi, tadi ia memang belum menjawab soal nomer 17 makanya ia tanya kepada Satya, tapi bukannya jawaban yang ia terima tapi sebuah ceramah. Teman sebangkunya itu memang agak pelit jika soal pelajaran. “Yaudah kalau nggak mau ngasih tahu, nanti ke kantinnya sendiri nggak usah sama aku.” Satya berdecak kesal, jika seperti ini ia tak punya pilihan, ia terbiasa ke kantin dengan Sarah. “Janji, ya, cuma nomer 17,” peringat Satya dan mulai menuliskan jawaban di buku tulis Sarah dengan tidak ikhlas. Sedangkan di sampingnya, Sarah mengganguk-angukan kepalanya sambil tersenyum lebar sampai matanya menyipit.“Makasih Satya! Baik deh!” Satya hanya bergumam sebagai balasan.
Mereka mulai kembali fokus dengan dengan soal yang diberikan oleh bu Tuti selaku guru matematika. Soal yang diberikan bu Tuti cukup sulit meskipun jumlah soalnya hanya 20. Sarah menoleh ke arah Satya yang sedang fokus dengan tugasnya, sepertinya sedang mengoreksi tugasnya yang sudah selesai. Ia mengaruk pipinya, bingung ingin mengatakannya atau tidak. Satya yang merasa diperhatikan pun menoleh ke kiri, dan melihat Sarah yang tersenyum misterius sambil menatapnya. Satya menaikkan salah satu alisnya, ia tahu arti dari senyum itu. Ia menghela napas jengah.“Enggak, Sar,” putus Satya sebelum Sarah mengucapkannya. Ia kembali fokus pada kertas jawabannya. “Tapi aku bener-bener nggak tahu gimana caranya. Kira-kira kasih tahu caranya aja deh kalau gitu,” tawar Sarah membujuk Satya agar mau memberi tahu cara soal nomer 20. “Janjinya cuma nomer 17, Sar.” “Tapi ini gak tahu caranya.”
Sarah mengerucutkan bibirnya. “Jangan gitu, Sar. Jangan dikit-dikit tanya, usaha kalau mau tahu jawabannya! Lihat LKS, ‘kan ada semua materinya di situ.
Kamu kalau kaya gitu terus, kapan suksesnya?” Satya menatap Sarah datar. Sungguh ucapan Satya sangat menohok hati Sarah, tapi apa yang dikatakan Satya memang benar jika selama ini Sarah memang memanfaatkan Satya saja.
Satya bangun dari bangkunya dan meninggalkan kelas tanpa memperdulikan jika masih ada guru yang mengajar. Ia sudah terbawa emosi dan menyediri adalah solusi penenangnya. Serta meninggalkan Sarah yang menatap pintu kelas dengan pandangan kosong. Entah hanya perasaan Sarah atau memang benar, ia merasa jika Satya seperti menghindarinya. Sudah seminggu sejak kejadian dimana Satya meninggalkan kelas begitu saja. Sebenarnya Sarah sangat ingin menghampiri Satya terlebih dahulu, tapi entah kenapa ia tak berani atau … gengsi?
Ucapan Satya minggu lalu juga membuat Sarah mengintropeksi dirinya sendiri. Tanpa ia sadari ia telah menyakiti hati orang lain. Ternyata ia sejahat itu, pantas jika ia hanya memiliki sedikit teman. Tapi, bolehkah Sarah egois? Ia juga ingin memiliki teman seperti Satya yang selalu di anggap oleh teman-temannya. Ia ingin di hargai seperti Satya di hargai oleh para guru. Ia ingin dilihat sebagai dirinya sendiri bukan hanya di bandingkan dengan Satya yang sangat jauh di atasnya. Ternyata ia hanya sebuah debu di sekitar Satya. Tapi jika ini yang di inginkan Satya, ia akan membuktikan bahwa ia juga bisa seperti dirinya yang mengerjakan apa pun dengan sendiri.
Penilaian Akhir Semester dua hari lagi tiba. Semua murid mulai sibuk menyambut ujian dengan belajar dengan giat agar mendapatkan nilai yang memuaskan. Seperti Satya contohnya, saat ini ia sedang di duduk di pojokan perpustakaan seorang diri. Saat belajar ia lebih suka menyendiri, ia lebih leluasa, dan bisa lebih fokus dengan apa yang ia pelajari.
Terhitung sudah hampir dua bulan ia dan Sarah tak lagi bersama.
Bisa di bilang Satya begitu pengecut, ia hanya bisa melihat Sarah secara diam-diam. Melihat Sarah tertawa bersama temannya barunya. Serta melihat Sarah yang sedang mengerjakan tugas dengan fokus. Ternyata dua bulan membawa perubahan terhadap gadis itu. Ia bukan lagi seorang gadis yang pendiam. Bukan lagi seorang gadis yang anti sosial. Bukan lagi seorang gadis yang hanya berteman sebagai kunci jawaban yang berjalan.
Ia benar-benar berubah 180%. Nilai yang awalnya di bawah 50 sekarang menjadi di atas 65. Teman yang awalnya hanya beberapa sekarang menjadi dimana-mana. Bahkan sekarang hampir setiap kelas mengenal Sarah.
Ia bangun dari duduknya dan berjalan menuju rooftop sekolah. Tapi saat ia akan berbelok ia berpapasan dengan Sarah yang sedang memainkana ponselnya dan tak menyadari keberadaannya, sepertinya baru saja dari toilet. Tanpa sadar Satya terus melihat Sarah yang mulai menjauh darinya.
Ia menghentikan langkahnya, perlahan ia mengangkat kepalanya yang awalnya tertunduk dan menatap kedepan dengan pandangan yang tak dapat di artikan. Sarah menghembuskan nafas panjang, berusaha menormalkan detak jantungnya yang berdetak dengan kencang yang entah karna apa. Tidak masuk akal juga hanya karna bertemu dengan Satya tadi. Sebenarnya ia menyadari jika ada Satya disana, tapi ia berpura-pura tak tahu dengan memainkan ponselnya.
“Duh, aku kenapa sih.” Sarah bermonolog sendiri. Lagi ia menghembuskan nafas panjang dan melangkah menuju kelas.
“Sarah udah ngecek besok senin dapet duduk sama siapa?” tanya Tasya, teman sekelas Sarah. “Belum, kamu udah ngecek?” tanya Sarah balik.
“Udah dong, Tasya duduk sama adik kelas,” jawab Tasya, “btw, kita satu kelas lho,” lanjutnya. “Kamu duduk di belakang aku ‘kan? Kaya semester kemarin.”
“Ya, enggaklah. Satya dulu, ‘kan absennya; Sarah, Satya, baru Tasya. Masa Sarah lupa sama temen sendiri sih?” Sarah hanya tersenyum kikuk. Ia benar-benar lupa jika sehabis absennya adalah Satya. Setelah menjalani hari-hari yang penuh penyiksaan, akhirnya Penilaian Akhir Semester selesai dan beberapa hari lagi rapor akan di bagikan. Ujian ini termasuk ujian menegangkan bagi Sarah,
karna ia mengerjakan semua soal dengan sendiri dalam artian ia tidak menyontek sama sekali. Mungkin jika ia mengatakan itu kepada Satya, laki-laki itu pasti tidak percaya. Ah, kenapa ia jadi memikirkan laki-laki itu. “Hah … akhirnya bisa bebas juga, pusing pala Tasya. Terus ada soal yang materinya nggak ada di buku, jadinya harus mikir dengan ekstra deh,” keluh Tasya sambil merenggangkan otot-ototnya. Sarah hanya tertawa sambil matanya yang menjelajah ke seluruh kelas dan pandangannya terpaku pada seseorang yang sedang berjalan ke arah bangkunya sendiri. “Sarah kenapa? Kok geleng-geleng, senam wajah, ya?” tanya Tasya polos.
“Hah? Enggak kok. Ini tadi lehernya pegel hehe,” jawab Sarah gugup sedangkan Tasya hanya menggangukan kepalanya.
Hari pembagian rapor tiba. Semua murid menyabut sangat antusias, tapi ada juga yang menyabutnya dengan tegang. Seperti Sarah contohnya dari pagi jantungnya tak henti-henti berdetak dengan kencang. Ia cukup takut jika hasil dari belajar pagi sampai malamnya tak membuahkan hasil.
Berbeda dengan Sarah yang sangat kalut, Satya sangat excited dengan pembagian rapor kali ini, karna ia yakin jika dirinyalah yang akan mendapatkan peringkat pertama di kelas seperti sebelum-sebelumnya.
Sebelum para wali murid datang ke sekolah pada waktunya. Para murid di kumpulkan di kelas masing-masing untuk di beritahu siapakah sang juara pada ujian kali ini. Semua murid tak henti-hentinya menghembuskan nafas panjang untuk mengurangi rasa gugup yang mendominasi tubuh mereka.
Bu Mila selaku wali kelas 12 IPA 1 masuk ke dalam kelas dengan senyum manisnya. Ia menyapa para anak didiknya terlebih dahulu, “Good moring everybody! Bagaimana ujian kali ini? Susah atau mudah?” Dan sahutan-sahutan pun terdengar. “Oke, kita langsung lihat aja, ya, orang tua kalian juga udah nunggu di aula. Dan yang mendapatkan peringkat pertama adalah jeng-jeng-jeng selamat untuk Satya Aditama! Selamat Satya, beri tepuk tangan!” Semua murid memberi tepukan tangan dan ucapan selamat untuk Satya.
“Dan, peringkat ke dua adalah … selamat untuk Sarah Putri Sanjaya! Beri tepuk tangan untuk Sarah!” Semua murid yang ada di kelas menatap Sarah tak percaya. Ini seperti mimpi, gadis yang di kenal bodoh di kelas tiba-tiba mendapatkan peringkat tinggi. Perlahan semuanya bertepun tangan untuk Sarah yang masih memantung. Perlahan senyum di wajahnya muncul, ia tersenyum lebar, ini adalah kabar bahagia sampai-sampai ia menangis.
“Selamat Sarah! Tasya ikut seneng atas meskipun enggak dapet peringkat,” ujar Tasya seraya menarik Sarah ke dalam pelukannya.
“Hahaha! Makasih banget! Astaga, ini kaya mimpi ternyata bener usaha tak mengkhianati hasil. Tasya jangan sedih ‘kan masih ada ujian yang lain.” Sarah membalas pelukan Tasya tak kalah erat. Teman sekelasnya mulai memberikan selamat kepadanya, setelah ia melepaskan pelukannya dengan Tasya. Dan entah kebetulan atau tidak, orang terakhir yang mengucapkan selamat untuknya adalah Satya, dan itu membuat Sarah gugup.
Satya berdiri di depan Sarah yang mengalihkan perhatian darinya, tanpa sadar ia tersenyum kecil. Ia mejulurkan tangannya untuk menjabat tangan Sarah, dengan kikuk Sarah menyambut uluran tangan Satya.
“Selamat, nggak nyangka kamu bisa dapet peringkat dua,” ujar Satya menatap Sarah lekat, yang membuat gadis itu semakin gugup di buatnya.
“Makasih, berkat kamu juga aku kaya gini,” balas Sarah. Satya menganggukan kepalanya, paham dengan yang di ucapkan gadis di depannya.
Mereka melepaskan jabatan tangan mereka dengan kikuk.
“Sar,” panggil Satya. “Iya?” “Aku minta maaf, ya, kalau ucapan waktu itu—”
“Enggak pa-pa kali. Kamu malah nyadarin aku kalau nggak selamanya aku bisa bergantung sama orang lain.” “Tapi aku tetep nggak enak.”
“Yaudah, di enakin aja.” “Nggak bisa! Aku harus ngelakuin apa biar bisa nebus dosa aku?” “Kita pacaran.”