Oleh : Fajar Sanintan Jati
Pada hantaman ke berapa aku tak tahu. yang ku tahu pukulan satu satu. Bertalu talu semangat menderu. Sampai luluh hari mu. Seorang bapak tua bertelanjang dada Mengais nominal nominal kecil pun juga batu bata Yang mati matian dibangunnya menjadi negara. Mata pena runcing ke bawah tentu saja Mengekalkan satu jadi arti kata merdeka Diarak kawan lama Sebotol anggur, dua gelasnya. Kita sirami jalan dalam kata kata. Tumbuhlah cerita berbunga bunga. Menyiram bayang dengan warna Usai sudah perang kita. Usai sudah perang kita. Di tanah ini, bongkahan pecahan jadi harga diri Opini itu bebas, fakta itu suci Ia tepuk dadanya sendiri “hari ini biar aku yang mati” Bertaruh damai ia membeli nyali Menggenapi kekurangan yang semakin benar seperti nabi Tak ada yang lebih lestari dari hati nurani Tak ada satupun kalah yang dibuang atau kelebihan yang dianggap beban keramaian makin lantang, mengamuk dan lepas tawa tawa diujung gang membelai kegagahan semakin tajam, berpegangan tangan saling menyelamatkan seperti akar akar hidup penganut kebebasan tak ada yang berjalan sendirian Di bawah jubah Tuhan seorang saksi peradaban, kini ia Menyangkal yang tabu, ragu, kabur, dan bilur Bahwa hitam dan putih adalah retina Melahirkan warna warna baru dan keindahan dunia seisinya Kita adalah tamu-tamu raja Agustus nun agung Pendengar lampu lampu jalan yang mengadu Sudahnya semua jalan adalah terang Ia yang lebih paham menjadi baik bukan semoga Menjadi benar bukan mungkin Atau merdeka bukan mustahil Adalahnya kita Adalah kita Usai sudah perang kita kini Tuhan ada dimana mana Surga tak hanya bingkai bingkai memoria Di masjid tua, klenteng pertama, kuil kuil suci, vihara, atau gereja Aku adalah kamu Kamu adalah kita Tak lagi aku membunuh aku dalam tubuhmu Kita adalah tamu-tamu raja Agustus nun agung Yang diberi negara secara cuma-cuma